Selasa, 05 Oktober 2010

ARTIKEL TENTANG ILMU SOSIAL DASAR

Memperbarui Pendidikan Sains Dasar untuk Membalik Krisis Sosial Ekologis


 
Netsains.Com - Ada hantu yang berkeliaran di ranah sains modern – hantu ketakpastian, ketaklengkapan, dan non-universalisme teoretis. Semua pendekatan saintifik terkontemporer seolah telah lama bahu-membahu untuk mengusir hantu ini: teori chaos [1] dan fraktal [2], kompleksitas sistem [3], teorema ketaklengkapan Godel [4], interpretasi dan konsepsi atas perubahan iklim dalam studi ekologi, hingga konsep kosmologi multiverse (sebagai antidot dari universe) [5].
Lantas apa yang terjadi jika konsepsi yang semestinya menjadi pengusir hantu itu telah banyak digunakan dalam bentuk lain di kepulauan Indonesia? Tanpa elemen-elemen dasar geometri, Batik Jawa mengakuisisi konsep fraktal [6]. Tanpa mengenali silogisme dan paradoks, etika orang-orang pribumi telah akrab dengan konsepsi “tepa selira” [7], tak ragu untuk memberi proposisi didaktik di tengah oposisi biner. Tanpa studi atas bentuk muka bumi yang komprehensif dalam perspektif konvensional, rumah tradisional Sunda di pemukiman Kampung Naga diperkirakan tak akan rubuh meski dengan goncangan gempa bumi 10 SR. Tanpa konsepsi atas “kerangka acuan tetap”, kosmologi multiversal orang-orang Tapanuli tentang buana atas, tengah, dan bawah (banua ginjang, banua tonga, banua toru) [8] menjadi konsepsi yang tercermin dari arsitektur tradisionalnya [9].
Benturan Fundamen Konsepsi
Berbeda dengan ilmu pengetahuan modern yang tegak berdiri dengan mitologi positivisme sains, pengetahuan turun-temurun itu ditopang berbagai mitologi dan konsepsi tentang alam semesta dalam sistem religi tradisional. Berbeda dengan ilmu pengetahuan modern yang disangga oleh “formalitas” sistem pendidikan instruksional melalui kurikulum modern dalam kerangka kehidupan akademik, pengetahuan turun-temurun itu hidup dalam “informalitas” scholae in loco materna, hubungan familial intra- dan inter-keluarga, suku, atau secara spesifik di Jawa di antara kelompok-kelompok bandongan dan sorogan terkait tirakat untuk pengetahuan tertentu [10].
Perbedaan karakteristik antara diskursus keilmuan ini menjadi semacam elemen epistemologis yang sangat membedakan [11] dan akhirnya menggoda kebanyakan filsuf dan ilmuwan sosial yang sering membenturkan antara yang “barat” dan yang “timur” [12]. Jalur historis telah menunjukkan bahwa kehidupan modern kita hari ini kita alami dengan dominasi konsepsi modernitas yang nota bene yang sering dikaitkan dengan peri-kehidupan barat. Demikian pula dengan pendidikan sains (dasar), yang secara garis besar, pada dasarnya adalah upaya playback sejarah sains modern untuk menjadi fundamen bagi pengembangan sains (dan teknologi) lebih lanjut.
Realm yang kita miliki dibentuk oleh Sains (Dasar)
Sejarah sains modern hari ini berakar dari sebuah proses panjang yang berlangsung di Eropa selama lebih dari 8 abad, dari abad ke 11 hingga awal abad ke-20. Secara umum, proses tersebut dapat dibagi menjadi lima fase utama.
Fase pertama adalah periode pra-renaisans. Ia berlangsung sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13. Babak ini merupakan titip balik peradapan Eropa dari masa kegelapan. Ada dua kesadaran besar yang tumbuh pada periode ini. Titik pertama adalah kesadaran akan pentingnya penggalian kembali tradisi yang berkembang di Yunani, Arab dan Romawi. Ia dikenal sebagai proses revitalisasi kebudayaan Eropa. Upaya terlihat dengan kebangkitan kembali (revival) sastra, puisi, drama, bahasa hingga asas hukum Yunani dan Romawi kuno [13]. Titik kedua adalah kesadaran akan pentingnya restrukturisasi institusi pendidikan dalam upaya untuk melakukan transformasi dalam masyarakat. Semangat ini terlihat dengan munculnya banyak universitas di Eropa pada periode tersebut, seperti University of Bologna, University of Paris, University of Oxford, University of Cambridge, University of Salamanca dan lain sebagainya.
Titik puncak dari proses revitalisasi tersebut terjadi pada abad ke-14 sampai dengan abad ke-17. Fase kedua kebangkitan Eropa ini disebut renaisans. Ia adalah sebuah masa peralihan dari abad kegelapan ke abad modern yang ditandai dengan perhatian kembali kepada kesusastraan klasik, berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, serta mulai dibangunnya dasar-dasar ilmu pengetahuan modern [14]. Kebangkitan seni menjadi corak utama yang mewarnai periode tersebut. Pada fase ini, mereka tidak hanya berupaya untuk menggali nilai-nilai yang tersimpan dalam peradaban Yunani, Arab dan Romawi namun menumbuhkan sesuatu hal yang baru. Para pelukis dan pematung meningkatkan representasi realitas dengan menggunakan konsep perspektif dan teknik baru, seperti manipulasi intensitas warna, kontras dan lain sebagainya. Periode ini melahirkan sejumlah nama besar, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo Buonarroti, Raffaello Santi dan lain sebagainya.
Renaisans mengubah cara pandang. Ia menimbulkan hasrat untuk berlayar menjelajahi dunia serta memberikan inspirasi bagi kaum intelektual dalam menjelaskan fenomena alam. Seni dan ilmu pengetahuan bercampur pada masa renaisans. Seniman, seperti Leonardo da Vinci, melakukan observasi dalam upaya untuk menggambarkan alam. Mereka tidak lagi terjebak pada upaya untuk menghasilkan sebuah penemuan spesifik, melainkan mulai menyadari akan pentingnya proses dalam penemuan tersebut, yaitu metode saintik. Ledakan dari proses akumulasi tersebut terjadi pada tahun 1543. Lahir dua karya besar, yaitu “De Revolutionibus Orbium Coelestium” oleh Nicolaus Copernicus dan “De Humani Corporis Fabrica” oleh Andreas Vesalius. Peristiwa ini menandai lahirnya era baru dalam ilmu pengetahuan, sebuah paradigma yang memberikan kesadaran akan pentingnya fakta empiris dan matematika dalam upaya untuk menjelaskan fenomena alam. Semangat inilah yang menginspirasi terjadinya transformasi saintifik melalui sentuhan Galileo Galilei, Christian Huygens, Johannes Kepler, Blaise Pascal, dan Isaac Newton di abad ke-17. Transformasi yang berlangsung dari abad ke-16 hingga abad ke-17 merupakan fase ketiga dalam kebangkitan Eropa, yaitu revolusi sains atau revolusi Copernican.
Revolusi Copernican tidak hanya mengubah cara pandang manusia terhadap alam, tetapi juga perspektif dalam memandang institusi. Keteguhan Copernicus terhadap sains dan perlawanannya terkadap dogma umum yang berlaku ketika itu telah menginspirasi lahirnya sebuah gelombang pemikiran politik pada abad ke-17 hingga abad ke-18. John Locke membangun teori kepemilikan yang disandarkan pada kebebasan individu. John Trenchard memperkenalkan prinsip “kebebasan untuk berpikir” dan “kebebasan untuk berpendapat”. Charles de Montesquieu mengemukakan konsep trias politika. Adam Smith meletakkan dasar-dasar doktrin ekonomi pasar bebas dan kompetisi. Demikian juga dengan Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Voltaire, Thomas Jefferson dan sejumlah intelektual besar lainnya. Mereka meyakini bahwa individu adalah basis dari hukum dan masyarakat. Pemikiran ini mendorong terjadinya transformasi politik di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-18, seperti revolusi 1688 di Inggris, revolusi Amerika tahun 1776 dan revolusi Perancis tahun 1789. Restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik yang dilatarbelakangi prinsip kebebasan dalam sains tersebut merupakan fase keempat kebangkitan barat.

Kulminasi dari proses panjang tersebut melahirkan fase kelima kebangkitan Eropa, yaitu transformasi sosial dan ekonomi [15]. Revolusi ini berlangsung dari abad ke-18 hingga abad ke-20. Upaya akusisi manusia terhadap sains telah melahirkan sejumlah kemampuan untuk merekayasa lingkungan. Penemuan mesin uap oleh James Watt menghasilkan transformasi secara luas. Peradaban barat mulai mengenal kapal bermesin uap, kereta, generator listrik dan lain sebagainya. Proses mekanisasi telah meningkatkan kapasitas produksi secara dramatis. Revolusi politik, yang terjadi di fase keempat, turut serta mengaklerasi proses tersebut. Dimungkinkan munculnya kekuatan ekonomi di luar kerajaan atau negara. Transformasi sosial dan ekonomi tersebut telah mengantarkan dominasi peradaban barat di dunia, hingga hari ini.
Kebangkitan Eropa merupakan hasil dari sebuah proses panjang. Secara umum, proses ini tersusun atas enam elemen kebangkitan, yaitu revitalisasi budaya, restrukturisasi sistem pendidikan, kebangkitan kebudayaan baru, revolusi sains, restrukturisasi sistem politik dan kebijakan publik berbasis ilmu pengetahuan serta transformasi sosial dan ekonomi. Visualisasi hubungan ini terlihat pada gambar 1. Elemen-elemen ini juga dijumpai dalam proses kebangkitan Amerika Serikat dan Jepang, dua peradaban besar lainnya yang mendominasi wajah dunia hari ini. Namun tentu saja, proses yang terjadi tidak harus berlangsung secara (relatif) serial dan memakan waktu yang sangat panjang, seperti di Eropa. Jepang melakukannya secara paralel dalam waktu yang relatif singkat [16].
Krisis Sosial Ekologis & Sains Dasar
Dari gambaran kesejarahan atas bagaimana secara fenomenologis kita memandang kehidupan sosial dan ekologis kita saat ini, kita dihadapkan pada dua sisi perspektif atas sains modern. Di satu sisi, kita merasakan adanya “kemajuan” dengan berbagai piranti rekayasa dan teknologi yang lahir dari implementasi sains modern tersebut. Namun di sisi lain, kita juga merasakan adanya berbagai proses “perusakan” atas sistem hidup ekosfera, baik secara makro maupun secara mikro dalam lanskap sosial ekologis kehidupan kita sehari-hari. Malangnya, proses pendidikan modern (baca: formal) saat ini bertitik berat pada perayaan atas “kemajuan” yang ada, namun lupa bahwa secara sistemik terjadi “perusakan” di sana-sini. Dua hal ini menimbulkan Krisis Sosial dan Ekologis dalam perspektif yang membenturkan apa yang secara collective intelligence berkembang dalam paradigma modernitas dan yang berkembang dalam paradigma tradisional-kultural nusantara.
Fundamen dari bangunan tata-pengetahuan atas dua domain collective intelligence ini memiliki corak dan perbedaan yang begitu kuat nan mendasar. Ini menuntut kita untuk melongok ke tata pendidikan sains dasar kita hari ini, dengan kenyataan bahwa pendidikan sains dasar yang dikenal saat ini sangat didominasi oleh fundamen-fundamen tradisi modernitas dan justru mengesampingkan (jika tidak memandang rendah) keluhuran yang mungkin tumbuh dan berkembang dalam tata sosial ekologis kehidupan asali masyarakat yang tinggal di kepulauan Indonesia ini.
Ini tentu tidak mudah! Karena perkembangan yang ada saat ini menunjukkan bahwa bahkan pendataan atas aspek-aspek kebijaksanaan yang terpancar melalui artifak kultural Indonesia sendiri masih sangat jauh dari lengkap. Proses pendataan sendiri jelas tidak cukup jika kita kontraskan dengan aspek perkembangan kehidupan modern yang ada. Penelitian ke arah sana dalam basis dan fundamen sains juga sangat miskin. Adalah langka menemukan hasil penelitian yang menggali kebijaksanaan tradisi (baca: meta-pengetahuan) nusantara dalam tradisi sains modern. Yang sering terjadi justru adalah upaya pencocok-cocokan meta-sains modern terhadap apa-apa yang menjadi elemen kehidupan tradisional Indonesia. Jika hal ini telah dilakukan, maka persilangan antara fundamen dari dua collective intelligence sebagaimana disebut di atas mungkin dapat diatasi, dan pendidikan dasar kita memiliki peluang untuk diperbaharui sehingga keterasingan sejarah kehidupan modernitas yang dominan saat ini dapat berpadu secara sinergi dengan peri-kehidupan dalam basis kehidupan di kepualuan Indonesia. Sebagai contoh, misalnya adalah keakraban antara sains modern kontemporer geometri fraktal dengan pola pemotifan batik tradisional Indonesia, atau konsepsi pemerintahan dan birokrasi di Indonesia yang secara tradisional justru memberi corak bagaimana konsepsi demokrasi diterapkan di beberapa kerajaan yang ada di persada nusantara secara organis.
Pendidikan sains dasar yang terbaharui sehingga memiliki sinergisasi yang aktif antara kebijaksanaan yang terkandung dalam perikehidupan modernitas dan perikehidupan tradisional Indonesia merupakan sebuah solusi jangka panjang dalam rangka Krisis Sosial Ekologis yang dialami oleh generasi sekarang dan generasi mendatang. Karena kita jelas memerlukan kebijaksanaan yang terkandung di dalam realm modernitas namun perlu memikirkan pola kebijakan publik yang tidak menjadi beban perusakan atas kehidupan sosial di dalam ekosfera kita. Hal ini merupakan kajian dan menjadi pertanyaan sekaligus tantangan mendasar yang sangat penting dalam rangka penyusunan wawasan tentang bagaimana pendidikan sebagai unit transmisi budaya diterapkan secara implementatif.
Karya Yang Disebut
[1] Gleick, J. (1987). Chaos: Making a New Science. Viking.
[2] Barnsley, M. (1988). Fractals Everywhere. Academic Press.
[3] Miller, J. H. & Page, S. E. (2007). Complex Adaptive Systems: An Introduction to Computational Models of Social Life. Princeton UP.
[4] interpretasi meluas dan menarik atas Teorema Ketaklengkapan Godel ditunjukkan di Hofstadter, D. (1979). Gödel, Escher, Bach: An Eternal Golden Braid. Basic Books.
[5] Rees, M. J. (2007). “Cosmology and the Multiverse”. dalam Carr, B. (eds.). Universe or Multiverse?. Cambridge UP. pp.57-76.
[6] Dahlan, R. & Situngkir, H. (2009). Fisika Batik: Jejak Sains Modern dalam Seni Tradisi Indonesia. Gramedia.
[7] Mulder, N. (1998). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Pepin Press.
[8] Vergouwen, J. C. (1964). The Social Organization and Customary Law of the Toba-Batak of Northern Sumatera. The Hague.
[9] Dawson, B. & Gillow, J. (1994). Traditional Architecture in Indonesia. Thames & Hudson.
[10] Endang, T. (2006). Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai. ANU E Press.
[11] Foucault, M. (1969). The Archeology of Knowledge. Terj. Inggris oleh A. M. Sheridan Smith. Routledge.
[12] Sebuah publikasi populer terkait ini oleh Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations: Remaking of World Order. Simon & Schuster.
[13] Durant, W. (1935). The Story of Civilization Vol. 1-11. Simon and Schuster.
[14] Brotton, J. (2006). The Renaissance: A Very Short Introduction. Oxford UP.
[15] Farr, J. R. (2003). “Industrial Revolution in Europe: 1750-1914”. World Eras 09, Thomson-Gale.
[16] Gordon, A. (2003). A Modern History of Japan: From Tokugawa Times to the Present. Oxford UP.

0 komentar:

Posting Komentar